Dukungan Orang Tua Bagi Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus
Memiliki
anak berkebutuhan khusus diakui merupakan tantangan yang cukup berat
bagi banyak orangtua. Tidak sedikit yang mengeluhkan bahwa merawat dan
mengasuh anak berkebutuhan khusus membutuhkan tenaga dan perhatian yang
ekstra karena tidak semudah saat melakukannya pada anak-anak normal.
Namun demikian, hal ini harus dapat disikapi secara positif, agar
selanjutnya orangtua dapat menemukan langkah-langkah yang tepat untuk
mengoptimalkan perkembangan dan berbagai potensi yang masih dimiliki
oleh anak-anak tersebut.
Terlebih pada prinsipnya, meskipun
memiliki keterbatasan, bukan berarti tertutup sudah semua jalan bagi
anak berkebutuhan khusus untuk dapat berhasil dalam hidupnya dan
menjalani hari-harinya tanpa selalu bergantung pada orang lain. Di balik
kelemahan atau kekurangan yang dimiliki, anak berkebutuhan khusus
masih memiliki sejumlah kemampuan atau modalitas yang dapat
dikembangkan untuk membantunya menjalani hidup seperti
individu-individu lain pada umumnya.
Keluarga dalam hal ini adalah
lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus.
Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan
dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat
ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab
keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam
diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain.
Di samping itu, dukungan dan
penerimaan dari orangtua dan anggota keluarga yang lain akan memberikan
"energi" dan kepercayaan dalam diri anak berkebutuhan khusus untuk
lebih berusaha mempelajari dan mencoba hal-hal baru yang terkait dengan
ketrampilan hidupnya. Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan
yang diterima dari orang-orang terdekat akan membuat mereka semakin
rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, enggan berusaha karena
selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain
maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar
menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta selalu
tergantung pada bantuan orang lain, termasuk dalam merawat diri
sendiri.
Cukup banyak orangtua di Indonesia
yang telah berhasil membesarkan dan memberikan dukungan sehingga
individu berkebutuhan khusus mampu berprestasi di berbagai bidang,
memenuhi peran-peran dan fungsi sosial di masyarakat seperti halnya
individu normal, memperoleh penghasilan, dan bahkan menciptakan
lapangan pekerjaan yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri namun
juga bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya. Beberapa diantaranya
bahkan telah diberitakan di media massa, seperti tentang sejumlah
tunanetra yang menjadi musisi; tunarungu yang menjadi guru, penulis dan
aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat; seorang tunadaksa yang
sukses berbisnis on-line atau menjadi wirausahawan yang berkat kegigihannya berhasil menembus pangsa pasar internasional; dan sebagainya.
Menambahkan uraian sebelumnya, hal
lain yang juga tidak kalah penting untuk dipahami adalah bahwa
pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak berkebutuhan khusus pada
dasarnya tidak selalu identik dengan dana yang besar. Cukup banyak
keluarga khusus yang "berhasi" ternyata memiliki kondisi ekonomi yang
terbatas. Namun demikian kehidupan yang sederhana tersebut tidak
mengurangi kebersamaan dan komunikasi yang saling dukung antar anggota
keluarga, sehingga sejalan dengan pernyataan Heward (2003) bahwa dalam
sebuah keluarga yang kondusif, yang diantara anggota-anggotanya
memiliki kedekatan emosional serta sifat yang komunikatif satu sama
lain, akan tersedia berbagai macam dukungan untuk mengatasi hambatan
perkembangan yang dialami oleh anak. Mereka akan dapat memilih cara
yang tepat, sesuai dengan karakteristik anak, kondisi dan kemampuan
keluarga itu sendiri, sehingga treatmen yang dilakukan dapat berjalan
dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal, sekalipun treatmen
tersebut hanya berupa aktivitas-aktivitas yang sederhana.
Sebagai contoh, salah satu orangtua
dari anak berkebutuhan khusus yang menjadi subjek pada penelitian
Hendriani (2006) menceritakan tentang bagaimana mereka berusaha
membangun rasa saling peduli satu sama lain, khususnya terhadap kondisi
salah seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental
(tunagrahita). Orangtua mengajak dan sekaligus memberi contoh kepada
anak-anaknya yang normal untuk bersama-sama membantu mengajarkan
ketrampilan hidup sehari-hari kepada saudara mereka (merawat diri,
membersihkan rumah, membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya),
menanamkan untuk selalu mengasihi saudara bagaimanapun kondisinya,
serta tidak perlu malu memiliki saudara yang berkebutuhan khusus.
Bagi anak berkebutuhan khusus, peran
aktif orangtua ini merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan
kesehatan dan perkembangannya, baik secara fisik maupun psikologis.
Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau
pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti
anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Johnson dan Johnson
menyatakan bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan seperti
materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan
manusia. Dukungan sosial juga dimaksudkan sebagai keberadaan dan
kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya untuk
membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu.
Menurut Saronson dkk (Suhita, 2005),
dukungan sosial memiliki peranan penting untuk melindungi individu dari
ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial yang
lebih kecil, lebih memungkinkan untuk mengalami konsekuensi psikis yang
negatif. Sementara individu yang memperoleh dukungan sosial yang
tinggi akan menjadi individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan
saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi
kebutuhan psikologi dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah,
mempertinggi keterampilan interpersonal, memiliki kemampuan untuk
mencapai apa yang diinginkan, serta lebih mampu untuk mengupayakan
dirinya dalam beradaptasi dengan stress. Berbagai penelitian yang
dikemukakan oleh Atkinson (Suhita, 2005) juga menunjukkan bahwa orang
yang memiliki banyak ikatan sosial cenderung untuk memiliki usia yang
lebih panjang, dan relatif lebih tahan terhadap stress yang berhubungan
dengan penyakit daripada orang yang memiliki sedikit ikatan sosial.
Marmot & Wilkinson (2006)
menjelaskan adanya dua mekanisme yang menunjukkan jalur pengaruh dari
dukungan sosial terhadap kesehatan individu. Jalur pertama adalah efek
langsung (direct effect), dimana baik efek positif dari
ketersediaan dukungan maupun efek negatif dari terbatasnya dukungan dan
terjadinya isolasi sosial akan memberikan pengaruh secara langsung
terhadap kesehatan individu, yang dalam hal ini adalah anak
berkebutuhan khusus. Jalur kedua disebut sebagai efek penyeimbang (buffering effect), yaitu dukungan akan membantu mengurangi atau menurunkan pengaruh dari berbagai stresor akut dan kronik terhadap kesehatan.
SUMBER :
http://wiwinhendriani.com/2011/09/17/dukungan-orangtua-sebagai-determinan-sosial-bagi-perkembangan-anak-berkebutuhan-khusus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar