- Rubiyarto, S,Pd
- Sunaring Haryati
- Siti Rodliah
Senin, 19 November 2012
Verifikasi SDLB Muhammadiyah Surya Gemilang
Alhamdulillah SDLB Muhammadiyah Surya Gemilang, pada hari selasa 20 November 2012 sudah di verifikasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang.
Kamis, 08 November 2012
Sesuaikan Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Setiap
anak lahir dengan karakter dan keunikannya. Maka dari itu, layanan
pendidikan yang harus diberikan kepada anak-anak juga harus ditentukan
dengan kemampuan dan minatnya. Terlebih jika anak-anak itu termasuk
dalam kelompok anak berkebutuhan khusus.
Dalam sebuah seminar bertajuk "Bergerak
dan Bermain Langkah Awal Menuju Cerdas" yang digelar oleh College of
Allied Educators (CAE), Sabtu (26/11/2011) di Jakarta, terungkap, anak
berkebutuhan khusus harus ditangani dengat cepat, diperhatikan, dan
diperlakukan secara khusus dengan metode yang tepat.
Director CAE Alice Arianto mengatakan,
untuk menentukan metode pendidikan yang tepat kepada anak berkebutuhan
khusus, setiap orangtua harus mampu mengenali anak-anaknya terlebih
dahulu. Khususnya ketika anak-anak ada dalam usia emasnya, yaitu
sebelum beranjak ke usia enam tahun.
Dalam usia sedini mungkin, kata dia, para orangtua harus melakukan observasi secara cermat terhadap hal-hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan pada anak-anaknya. Itulah mengapa orangtua harus membantu dan melatih anak-anaknya saat bertumbuh kembang.
"Kuncinya itu ada pada orangtua. Sejauh mana orangtua itu mengerti dan paham akan kebutuhan anaknya," kata Alice.
Namun, lanjutnya, penanganan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus tidak bisa hanya dilakukan secara sepihak. Ia menegaskan, layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus hanya bisa dilakukan secara optimal dengan melibatkan semua pihak, orangtua, guru, terapis, dan lain sebagainya.
Alice mengungkapkan, perbedaan karakter yang dimiliki oleh setiap anak membuat tidak ada satu metode pun yang dapat dijadikan pakem ketika ingin memberikan pendidikan yang tepat kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Misalnya, anak-anak yang kesulitan bicara tentu harus diberikan terapi wicara. Ia menjelaskan, terdapat dua jenis kesulitan bicara. Pertama, tidak memiliki perbendaharaan kata. Kedua, tidak bisa memproduksi suara, maka dibantu melalui terapi wicara.
Namun, jika tidak memiliki kesulitan berbicara, pendidikan kepada anak tentunya harus menggunakan metode yang berbeda.
"Maka dari itu, yang paling penting, orangtua harus mendiagnosis anak-anak mereka secara cepat dan tepat," ungkapnya.
Umumnya, Alice menambahkan, orangtua tidak mengetahui bahwa anaknya mempunyai masalah. Di sisi lain, ada juga orangtua yang sudah menduga, tetapi tidak segera memastikan diagnosisnya dan akhirnya berimbas pada telatnya penanganan anak-anak yang berkebutuhan khusus.
"Jika dikatakan sedini mungkin, ya itu sebelum usia enam tahun. Itu adalah masa-masa emas. Jika sebelum usia itu sudah dibantu dengan metode yang tepat, maka perkembangannya akan lebih optimal," tuturnya.
Alice sangat menyayangkan para orantua yang terlambat menangani anak-anak mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Bahkan, ada juga orangtua yang menilai anak-anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang abnormal dan kemudian mengucilkannya di dalam rumah.
"Padahal, anak-anak itu bukan abnormal, tetapi spesial," ujarnya.
Untuk itulah, melalui CAE, Alice berniat memberikan banyak pemahaman kepada para orangtua agar mereka mengerti. Baginya, orangtua tidak perlu malu dan terbebani ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Ia sangat percaya, Tuhan menciptakan setiap individu dengan keunikannya.
"Jadi, kita sebagai orangtua harus bisa melihat anak-anak secara pribadi, apa kelebihan dan apa kekurangannya. Jika kemampuan akademisnya kurang baik, maka kita bisa mencoba untuk beralih ke pendidikan vokasi (keterampilan). Jangan paksa anak-anak ini untuk mengikuti pendidikan di sekolah formal," tandasnya.
Dalam usia sedini mungkin, kata dia, para orangtua harus melakukan observasi secara cermat terhadap hal-hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan pada anak-anaknya. Itulah mengapa orangtua harus membantu dan melatih anak-anaknya saat bertumbuh kembang.
"Kuncinya itu ada pada orangtua. Sejauh mana orangtua itu mengerti dan paham akan kebutuhan anaknya," kata Alice.
Namun, lanjutnya, penanganan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus tidak bisa hanya dilakukan secara sepihak. Ia menegaskan, layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus hanya bisa dilakukan secara optimal dengan melibatkan semua pihak, orangtua, guru, terapis, dan lain sebagainya.
Alice mengungkapkan, perbedaan karakter yang dimiliki oleh setiap anak membuat tidak ada satu metode pun yang dapat dijadikan pakem ketika ingin memberikan pendidikan yang tepat kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Misalnya, anak-anak yang kesulitan bicara tentu harus diberikan terapi wicara. Ia menjelaskan, terdapat dua jenis kesulitan bicara. Pertama, tidak memiliki perbendaharaan kata. Kedua, tidak bisa memproduksi suara, maka dibantu melalui terapi wicara.
Namun, jika tidak memiliki kesulitan berbicara, pendidikan kepada anak tentunya harus menggunakan metode yang berbeda.
"Maka dari itu, yang paling penting, orangtua harus mendiagnosis anak-anak mereka secara cepat dan tepat," ungkapnya.
Umumnya, Alice menambahkan, orangtua tidak mengetahui bahwa anaknya mempunyai masalah. Di sisi lain, ada juga orangtua yang sudah menduga, tetapi tidak segera memastikan diagnosisnya dan akhirnya berimbas pada telatnya penanganan anak-anak yang berkebutuhan khusus.
"Jika dikatakan sedini mungkin, ya itu sebelum usia enam tahun. Itu adalah masa-masa emas. Jika sebelum usia itu sudah dibantu dengan metode yang tepat, maka perkembangannya akan lebih optimal," tuturnya.
Alice sangat menyayangkan para orantua yang terlambat menangani anak-anak mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Bahkan, ada juga orangtua yang menilai anak-anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang abnormal dan kemudian mengucilkannya di dalam rumah.
"Padahal, anak-anak itu bukan abnormal, tetapi spesial," ujarnya.
Untuk itulah, melalui CAE, Alice berniat memberikan banyak pemahaman kepada para orangtua agar mereka mengerti. Baginya, orangtua tidak perlu malu dan terbebani ketika memiliki anak berkebutuhan khusus. Ia sangat percaya, Tuhan menciptakan setiap individu dengan keunikannya.
"Jadi, kita sebagai orangtua harus bisa melihat anak-anak secara pribadi, apa kelebihan dan apa kekurangannya. Jika kemampuan akademisnya kurang baik, maka kita bisa mencoba untuk beralih ke pendidikan vokasi (keterampilan). Jangan paksa anak-anak ini untuk mengikuti pendidikan di sekolah formal," tandasnya.
sumber : Kompas.com
Sekolah Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Sejak
disahkannya UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
berbunyi "Pelayanan pendidikan bagi penderita anak cacat atau anak "
anak Berkebutuhan Khusus (ABK) telah diatur pemerintah dalam bentuk
sekolah inklusi". Sehingga aplikasi dari UU tersebut keberadaan sekolah
Inklusi kini mempunyai pengaruh yang besar bagi dunia pendidikan dari
tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Sekolah ini
berpedoman bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki kedudukan yang
sama dengan anak-anak normal lain dalam sekolah umum. Keberadaan anak
yang memerlukan perhatian dari beberapa orang, membuat ABK semakin
percaya diri untuk bermimpi ke masa depan. Selain itu, sekolah inklusi
juga mengubah paradigma masyarakat kita yang keliru tentang anak kurang
normal, bahwa mereka membawa suatu masalah yang kemudian berubah
menjadi suatu persepsi bahwa ABK juga diarahkan dan dibimbing sesuai
dengan tingkat keberadaan dan kondisi anak.
Pelayanan
anak berkebutuhan khusus secara berkesinambungan dengan cara
memberikan layanan pendekatan pelan-pelan dari guru dan orang tua
menjadikan mereka lebih baik. Peranan orang tua yang dijadikan sebagai
teman yang selalu mendengarkan dan tempat mengadu anak dalam
menceritakan permasalahan yang dihadapi membuat mereka nyaman tanpa
adanya kecanggungan. Adapun di sekolah, ABK mendapatkan pelayanan
secara bertahap/ berjenjang untuk membantu mereka mendapatkan
kenyamanan dalam memperoleh materi pelajaran umum. Dalam memberikan
layanan di sekolah, guru harus bekerjasama dalam sebuah team work yang solid antara guru kelas dan guru pembimbing khusus, supaya hasil yang diperoleh mengena pada tujuan yang diharapkan.
Dalam
sekolah inklusi menerapkan ruang khusus untuk siswa yang mempunyai
permasalahan untuk mengadakan bimbingan secara intensif setelah jam
pelajaran biasa selesai. Jadi, anak berkebutuhan khusus (ABK) disamping
mendapatkan layanan, tetapi mereka juga mendapat layanan tambahan
diluar jam pelajaran. Hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri
anak dalam bergaul dengan anak normal lainnya sesuai dengan kondisi
lingkungan. Adapun dalam pelajaran biasa, guru pembimbing dapat
menerapkan situasi kelas lebih komukatif dengan tidak membedakan antara
anak normal dengan ABK.
Keluarnya
UU No.20/2003 juga membawa manfaat yang cukup besar bagi siswa maupun
sekolah, sebab di sekolah penyelenggara inklusi banyak mendapatkan
bantuan fasilitas pembelajaran lengkap dari pemerintah pusat. Jumlah
dana yang dicairkan bahkan melebihi dana BOS, untuk setiap siswa
mencapai 360.000 pertahun. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah
memperhatikan dan mendukung pelaksanaan pendidikan khusus (sekolah
inklusi). Bahkan terdapat sekolah inklusi yang mempunyai fasilitas
lengkap dibanding dengan sekolah biasa yang tidak menerapkan layanan
ABK.
Deskriminasi
Sekolah
inklusi di Kabupaten Boyolali terbilang banyak yang tersebar di setiap
kecamatan. Setiap sekolah inklusi melayani kurang lebihnya puluhan
Anak Berkebutuhan Khusus, hal ini menunjukkan masih banyak siswa
membutuhkan pelayanan khusus. Di sekolah inklusi, kedudukan siswa ABK
dan anak normal sejajar dalam memperoleh pelajaran biasa. Bedanya anak
berkebutuhan khusus mendapat layanan khusus sesudah pelajaran.
Pernyataan
ABK mendapatkan layanan khusus tidak ada dalam peraturan pemerintah.
Pemerintah menganggap Anak Berkebutuhan Khusus atau anak yang kurang
memiliki kedudukan yang sama dalam mengikuti Ujian Nasional. Target
standar nilai yang dicanangkan bagi ABK juga sama dengan anak normal
lainnya. Hal ini menjadikan keprihatinan pemerhati pendidikan, guru, dan
masyarakat. Mereka menganggap adanya deskriminasi terhadap anak
berkebutuhan khusus, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan dan peka
tentang kemampuan ABK dan anak normal. Masalahnya daya serap pelajaran
anak berkebutuhan khusus lebih lambat, sehingga standar nilaipun harus
disesuaikan kondisi siswanya.
sumber : http://slbmekarsari1-cibinong.com/index.php?option=com_content&view=article&id=104:sekolah-khusus&catid=62:berita-dan-informasi&Itemid=18
Dukungan Orang Tua Bagi Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus
Memiliki
anak berkebutuhan khusus diakui merupakan tantangan yang cukup berat
bagi banyak orangtua. Tidak sedikit yang mengeluhkan bahwa merawat dan
mengasuh anak berkebutuhan khusus membutuhkan tenaga dan perhatian yang
ekstra karena tidak semudah saat melakukannya pada anak-anak normal.
Namun demikian, hal ini harus dapat disikapi secara positif, agar
selanjutnya orangtua dapat menemukan langkah-langkah yang tepat untuk
mengoptimalkan perkembangan dan berbagai potensi yang masih dimiliki
oleh anak-anak tersebut.
Terlebih pada prinsipnya, meskipun
memiliki keterbatasan, bukan berarti tertutup sudah semua jalan bagi
anak berkebutuhan khusus untuk dapat berhasil dalam hidupnya dan
menjalani hari-harinya tanpa selalu bergantung pada orang lain. Di balik
kelemahan atau kekurangan yang dimiliki, anak berkebutuhan khusus
masih memiliki sejumlah kemampuan atau modalitas yang dapat
dikembangkan untuk membantunya menjalani hidup seperti
individu-individu lain pada umumnya.
Keluarga dalam hal ini adalah
lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan anak berkebutuhan khusus.
Heward (2003) menyatakan bahwa efektivitas berbagai program penanganan
dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan khusus akan sangat
ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab
keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami berbagai aspek dalam
diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada orang-orang yang lain.
Di samping itu, dukungan dan
penerimaan dari orangtua dan anggota keluarga yang lain akan memberikan
"energi" dan kepercayaan dalam diri anak berkebutuhan khusus untuk
lebih berusaha mempelajari dan mencoba hal-hal baru yang terkait dengan
ketrampilan hidupnya. Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan
yang diterima dari orang-orang terdekat akan membuat mereka semakin
rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, enggan berusaha karena
selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain
maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar
menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta selalu
tergantung pada bantuan orang lain, termasuk dalam merawat diri
sendiri.
Cukup banyak orangtua di Indonesia
yang telah berhasil membesarkan dan memberikan dukungan sehingga
individu berkebutuhan khusus mampu berprestasi di berbagai bidang,
memenuhi peran-peran dan fungsi sosial di masyarakat seperti halnya
individu normal, memperoleh penghasilan, dan bahkan menciptakan
lapangan pekerjaan yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri namun
juga bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya. Beberapa diantaranya
bahkan telah diberitakan di media massa, seperti tentang sejumlah
tunanetra yang menjadi musisi; tunarungu yang menjadi guru, penulis dan
aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat; seorang tunadaksa yang
sukses berbisnis on-line atau menjadi wirausahawan yang berkat kegigihannya berhasil menembus pangsa pasar internasional; dan sebagainya.
Menambahkan uraian sebelumnya, hal
lain yang juga tidak kalah penting untuk dipahami adalah bahwa
pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak berkebutuhan khusus pada
dasarnya tidak selalu identik dengan dana yang besar. Cukup banyak
keluarga khusus yang "berhasi" ternyata memiliki kondisi ekonomi yang
terbatas. Namun demikian kehidupan yang sederhana tersebut tidak
mengurangi kebersamaan dan komunikasi yang saling dukung antar anggota
keluarga, sehingga sejalan dengan pernyataan Heward (2003) bahwa dalam
sebuah keluarga yang kondusif, yang diantara anggota-anggotanya
memiliki kedekatan emosional serta sifat yang komunikatif satu sama
lain, akan tersedia berbagai macam dukungan untuk mengatasi hambatan
perkembangan yang dialami oleh anak. Mereka akan dapat memilih cara
yang tepat, sesuai dengan karakteristik anak, kondisi dan kemampuan
keluarga itu sendiri, sehingga treatmen yang dilakukan dapat berjalan
dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal, sekalipun treatmen
tersebut hanya berupa aktivitas-aktivitas yang sederhana.
Sebagai contoh, salah satu orangtua
dari anak berkebutuhan khusus yang menjadi subjek pada penelitian
Hendriani (2006) menceritakan tentang bagaimana mereka berusaha
membangun rasa saling peduli satu sama lain, khususnya terhadap kondisi
salah seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental
(tunagrahita). Orangtua mengajak dan sekaligus memberi contoh kepada
anak-anaknya yang normal untuk bersama-sama membantu mengajarkan
ketrampilan hidup sehari-hari kepada saudara mereka (merawat diri,
membersihkan rumah, membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya),
menanamkan untuk selalu mengasihi saudara bagaimanapun kondisinya,
serta tidak perlu malu memiliki saudara yang berkebutuhan khusus.
Bagi anak berkebutuhan khusus, peran
aktif orangtua ini merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan
kesehatan dan perkembangannya, baik secara fisik maupun psikologis.
Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau
pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti
anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Johnson dan Johnson
menyatakan bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan seperti
materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan
manusia. Dukungan sosial juga dimaksudkan sebagai keberadaan dan
kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya untuk
membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu.
Menurut Saronson dkk (Suhita, 2005),
dukungan sosial memiliki peranan penting untuk melindungi individu dari
ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial yang
lebih kecil, lebih memungkinkan untuk mengalami konsekuensi psikis yang
negatif. Sementara individu yang memperoleh dukungan sosial yang
tinggi akan menjadi individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan
saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi
kebutuhan psikologi dan memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah,
mempertinggi keterampilan interpersonal, memiliki kemampuan untuk
mencapai apa yang diinginkan, serta lebih mampu untuk mengupayakan
dirinya dalam beradaptasi dengan stress. Berbagai penelitian yang
dikemukakan oleh Atkinson (Suhita, 2005) juga menunjukkan bahwa orang
yang memiliki banyak ikatan sosial cenderung untuk memiliki usia yang
lebih panjang, dan relatif lebih tahan terhadap stress yang berhubungan
dengan penyakit daripada orang yang memiliki sedikit ikatan sosial.
Marmot & Wilkinson (2006)
menjelaskan adanya dua mekanisme yang menunjukkan jalur pengaruh dari
dukungan sosial terhadap kesehatan individu. Jalur pertama adalah efek
langsung (direct effect), dimana baik efek positif dari
ketersediaan dukungan maupun efek negatif dari terbatasnya dukungan dan
terjadinya isolasi sosial akan memberikan pengaruh secara langsung
terhadap kesehatan individu, yang dalam hal ini adalah anak
berkebutuhan khusus. Jalur kedua disebut sebagai efek penyeimbang (buffering effect), yaitu dukungan akan membantu mengurangi atau menurunkan pengaruh dari berbagai stresor akut dan kronik terhadap kesehatan.
SUMBER :
http://wiwinhendriani.com/2011/09/17/dukungan-orangtua-sebagai-determinan-sosial-bagi-perkembangan-anak-berkebutuhan-khusus/
Sabtu, 03 November 2012
Semangat Murid Tunarungu di Paud Taman Latihan Semarang
Angling Adhitya Purbaya - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Nindi mengajarkan Annisa berbicara (Angling/ detikcom)
Jakarta - Anisa, bocah berusia tiga tahun itu
terlihat antusias memperhatikan pelajaran dari gurunya di kelas Paud
Taman Latihan di Semarang. Setiap kali guru memberikan pertanyaan ia
selalu sigap angkat tangan untuk menjawabnya. Semangat belajar Anisa
tidak terbendung walaupun ia penyandang tunarungu.Tidak hanya Anisa, 10 teman sekelasnya juga bernasib sama. Memang Paud Taman Latihan yang berlokasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang tersebut diperuntukkan khusus bagi anak berumur di bawah lima tahun penyandang tunarungu. Para siswa diberi pelajaran dengan metode yang sedikit berbeda dengan Paud umum lainnya.
Di kelas yang penuh tempelan gambar karya murid dan poster mendidik itu, Anisa dan teman-temannya diatur duduk setengah lingkaran agar mereka bisa melihat jelas artikulasi kata setiap kali guru mengucapkan kalimat. Walaupun semua murid sudah menggunakan alat bantu dengar, metode tersebut tetap perlu dilakukan.
"Agar bisa membaca gerak bibir guru, murid sengaja diatur duduk melingkar," kata guru Paud Taman Latihan, Nindi Nurdita Hapsari (25) kepada detikcom usai mengajar, Sabtu (3/11/2012).
Metode pengajaran yang digunakan Paud Taman Latihan adalah Metode Maternal Reflektif dengan tujuan agar nantinya siswa penyandang tunarungu bisa masuk ke sekolah-sekolah umum. Contoh mengajar dengan metode itu adalah menebak nama benda, warna, dan fungsinya sekaligus.
"Menyebutkan warna, menuliskan nama bendanya dan mempraktikkan fungsi benda yang diperlihatkan oleh guru," pungkas Nindi.
Adapun bentuk tulisan yang diajarkan adalah tulisan latin atau tegak bersambung dan dengan cara baca yang langsung satu kata tanpa dieja per suku kata. Nindi menambahkan, apabila mengajarkan cara baca kepada penyandang tunarungu dengan dieja per suku kata, maka nantinya mereka akan bicara dengan terbata-bata.
"Misal membaca kata 'sampo' langsung saja 'sampo' bukan 'sam-po'. Tulisan pun demikian, dipilih bentuk latin agar mereka bisa menulis langsung satu kata tanpa harus mengejanya, tulisan latin juga dimaksudkan untuk melatih motorik," terang wanita berjilbab itu.
"Istilahnya kita menggembleng anak agar bisa membaca dan menulis," tandasnya.
Satu-satunya kesulitan pada saat mengajar bocah tunarungu, lanjut Nindi, hanya pada bahasa dan artikulasi. Terkadang bahasa isyarat masih diperlukan untuk memperjelas arti kata yang diajarkan. Meski demikian ternyata murid-murid Nindi tidak tampak kesulitan menerima pelajaran darinya.
"Asalkan tidak cacat ganda, mereka cepat menerima pelajaran," ujar Nindi.
Selain dengan metode pengajaran tersebut, para orang tua siswa juga mendukung proses belajar anaknya yang menyandang tunarungu dengan memasangkan alat bantu dengar. Bahkan pada telinga Anisa sudah dipasang alat bantu dengar bernama Koklear Implan dimana ada bagian alat yang ditanamkan di dalam telinganya.
"Di bagian Koklea di telinga Anisa terpasang alat yang harganya kisaran Rp 200 sampai 300 juta satu telinga. Alat lainnya berjenis Behind The Ear yang hanya dipasangkan di bagian luar," tutur Nindi.
Sementara itu kepala SLB Negeri Semarang, Ciptono mengatakan Paud yang sudah berdiri sekitar dua tahun lalu itu sangat diminati oleh orang tua yang memiliki anak penyandang tunanetra. Dan ternyata murid-murid Paud taman Latihan tidak hanya dari Semarang namun juga kota-kota lainnya seperti Kudus, Demak, Tegal bahkan Kalimantan.
"Peminatnya banyak sekali bahkan dari luar kota juga ada," kata pria yang akrab dipanggil Pak Cip itu.
Untuk Paud penyandang tunarungu saat ini SLB Negeri Semarang menyediakan lima kelas dengan total siswa 42 anak yang aktif mengadakan kegiatan belajar pada hari Senin hingga Sabtu.
"Yang digunakan lima kelas. Kami uji coba dulu untuk tunarungu. Untuk Paud lainnya masih persiapan," ujar Pak Cip.
Suasana mengajar di kelas Paud Taman Latihan tidak jauh berbeda dengan Paud lainnya. Para murid bernyanyi, bermain, belajar layaknya anak-anak normal lainnya sedangkan orangtua mereka dengan sabar menunggu di luar kelas hingga pelajaran usai.
(alg/gah)
Selasa, 30 Oktober 2012
KURIKULUM HOMESCHOOLING
Kurikulum HS-TWIN STAR Semarang mengacu pada peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomer
23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Metode
pembelajaran menggunakan pendekatan yang lebih tematik, aktif,
konstruktif, dan kontekstual serta belajar mandiri melalui penekanan
kepada kecakapan hidup dan keterampilan dalam memecahkan masalah. Untuk
itulah proses pembelajaran dilakukan menyenangkan dan tidak
terpaku dengan akademik.
Landasan Hukum Homeschooling
Pelaksanaan sekolah rumah dan komunitas belajar ini dilandasi oleh peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan perubahannya ;
2. UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003;
3. UU Nomor 32 tahun 2003 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom ;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
Sekolah;
7. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0131/U/1991
tentang Paket A dan Paket B;
8. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 132/U/2004 tentang
Paket C.
Aspek Legalitas
Tanggal
10 Januari 2007 yang lalu, telah ditandatangani kesepakatan kerjasama
antara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas (PLS Depdiknas) dengan
Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAHPENA). Kesepakatan
tersebut ditandatangani oleh Ace Suryadi, Ph. D (Dirjen PLS Depdiknas)
dan Dr. Seto Mulyadi (Ketua Umum ASAHPENA). Berikut ringkasan isi
kesepakatan yang meningkatkan pengakuan dan eksistensi homeschooling di
Indonesia.
KESEPAKATAN
KERJASAMA Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknasdan
ASAHPENANomor: 02/E/TR/2007Nomor: 001/I/DK/AP/07Tanggal: 10 Januari
2007Tentang: Pembinaan dan Penyelenggaraan Komunitas SekolahRumah
sebagai Satuan Pendidikan KesetaraanTandatangan:
Ace Suryadi, Ph.D, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Departemen Pendidikan Nasinal (Depdiknas)
Dr. Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (ASAHPENA) Tujuan:
Meningkatkan kuantitas dan kualitas SekolahRumah untuk memperluas akses pendidikan dasar 9 tahun jalur pendidikan nonformal (Paket A dan Paket B);
Dr. Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (ASAHPENA) Tujuan:
Meningkatkan kuantitas dan kualitas SekolahRumah untuk memperluas akses pendidikan dasar 9 tahun jalur pendidikan nonformal (Paket A dan Paket B);
Memperluas
akses pendidikan menengah jalur pendidikan nonformal melalui komunitas
Sekolahrumah dan pendidikan alternatif; Meningkatkan mutu, relevansi dan
daya saing penyelenggaraan sekolahrumah dan pendidikan alternatif;
Meningkatkan kerjasama antara kedua belah pihak serta lembaga-lembaga
penyelenggara sekolahrumah dan pendidikan alternatif yang terkait
lainnya.
Ruang Lingkup kerjasama:
- Pendataan dan pengadministrasian sasaran program Sekolah rumah, Sosialisasi program Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
- Penyiapan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia pendukung program Sekolahrumah;
- Penyiapan dan pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan penialain hasil belajar program Sekolahrumah;
- Bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program Sekolahrumah Tugas dan Tanggung Jawab Depdiknas;
- Menyiapkan acuan, kriteria, dan prosedur yang terkait dengan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
- Memberikan bimbingan teknis dan evaluasi terhadap penyelenggaraan;
- Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
- Memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan;
- Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
- Melaksanakan bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan untuk;
- mengendalikan mutu Komunitas Sekolahrumah;
- Memberikan rekomendasi/ijin keberadaan Komunitas Sekolahrumah sesuai prosedur.
Tugas dan Tanggung Jawab AsahPena :
- Melaksanakan pendataan dan pengadministrasian calon/peserta didik dan keluarga penyelenggaran Sekolahrumah;
- Menyiapkan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang diperlukan;
- Menyediakan sumberdaya sarana-prasarana pendukung pembelajaran;
- Menyelenggarakan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan sejenis;
- Melakukan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan serta pelaporan secara berkala tentang Komunitas Sekolahrumah;
- Memfasilitasi peserta didik Komunitas Sekolahrumah untuk dapat mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Ijazah Pendidikan Kesetaraan dan diakui sebagai ijazh yang dapat digunakan untuk masuk sekolah/pendidikan formal, termasuk perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Pembiayaan :
Pembiayaan
penyelenggaraan Komunitas Sekolahrumah ditanggung oleh masyarakat yang
dikoordinasikan pihak kedua, sedangkan pihak pertama dapat memfasilitasi
perluasan akses dan peningkatan mutu sesuai denagn peraturan yang
berlaku
Mendiknas: "Homeschooling" Itu Lebih Baik
15:04
HS SAINTIFIKA –
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mengatakan, ada
beberapa metode untuk pembelajaran di luar sekolah formal. Pada
kasus-kasus tertentu metode pembelajaran bisa juga dilakukan di luar
sekolah baik itu dalam bentuk parenting, homeschooling maupun metode pembelajaran lainnya. Menurut Nuh, homeschooling adalah sebuah metode pembelajaran yang legal.
Hal-hal khusus itulah yang kemudian dianggapnya sebagai indiktor yang wajar terkait mahalnya biaya homeschooling.
“Beberapa metode pembelajaran bisa dilakukan di luar sekolah. Misalnya, karena memang si anak memerlukan perhatian yang agak khusus. Oleh karena itu, homeschooling semakin dikenal dan itu boleh. Wajar jika kemudian menjadi mahal, karena homeschooling sangat privat. Ibarat pakaian, ada yang di butik dan ada juga yang di pasar,” kata Nuh, saat ditemui Kompas.com, akhir pekan lalu di Karang Tengah, Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat.
Nuh mengungkapkan, agar homeschooling tidak kehilangan esensinya sebagai pendidikan alternatif, maka masyarakat dapat memilih cara lain, seperti memilih homeschooling dengan biaya yang masih dapat dijangkau.
Ia menjelaskan, para orangtua yang menerapkan homeschooling kepada anak-anaknya tidak perlu khawatir. Anak-anak homeschooling dapat menggunakan jalur ujian Paket A, B dan Paket C untuk memeroleh ijazah guna melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, dimungkinkan juga di suatu saat anak-anak homeschooling dapat ikut ujian bergabung bersama dengan pendidikan formal.
“Homeschooling bisa menggunakan ujian tersebut untuk ujian kelulusannya. Bisa juga ikut ujian bergabung dengan pendidikan formal. Itu boleh, yang tidak boleh itu jika anak-anak tidak sekolah dan tidak belajar,” ujarnya.
Mengenai standar kurikulum dalam homeschooling, Nuh menegaskan, homeschooling tetap harus memiliki kurikulum dasar. Tetapi, pengembangan dan pendekatannya diserahkan secara penuh kepada sang pendamping atau sang pembimbing homeschooling.
“Kurikulum dasar harus ada aturannya, tetapi kan bisa disesuaikan. Yang penting materinya harus ada, kalau enggak ada patokannya maka akan sulit saat mereka ujian nanti. Intinya, homeschooling itu boleh dan lebih baik daripada si anak tidak bersekolah,” kata Nuh.
Sumber : http://hs-saintifika.blogspot.com
Jumat, 26 Oktober 2012
Assessment Kesiapan Anak Masuk Sekolah Dasar (Overview)
Assessment Kesiapan Anak Masuk Sekolah Dasar (Overview)
Oleh : Dr. Widya Ayu Puspita, SKM., M.Kes.
Anak merupakan individu unik yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan pesat. Salah satu perkembangan yang terjadi pada anak adalah fase mental, di antaranya adalah kemampuan untuk menganalisis kejadian di sekelilingnya serta mengamati dan mengatasi kesulitan yang dihadapi. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa ada anak yang mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan namun ada pula yang pantang menyerah walaupun mengalami kesulitan atau kegagalan berkali-kali. Riset Werner menyebutkan bahwa anak yang ulet tersebut tumbuh menjadi generasi yang memiliki kesehatan baik. Masa depan penuh dengan tantangan, peluang setiap kesulitan dengan baik, serta menjawab setiap tuntutan yang semakin tinggi dalam perkembangan global. Generasi tangguh dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam segala kesulitan, tidak menjadi anak yang maladaptif, memiliki tingkat kesehatan fisik dan psikis yang baik, serta dapat menjadikan kesulitan sebagai tantangan dan peluang untuk maju dan berprestasi. Kemampuan untuk merespon kesulitan dan mengubahnya menjadi peluang dalam penelitian ini disebut sebagai Adversity Response.
Adversity Response sesungguhnya merupakan kombinasi dari kematangan sosial, emosi, dan kognitif, serta dapat dibentuk melalui pembiasaan sehingga dapat menjadi perilaku yang menetap. Kemampuan merespon kesulitan tersebut telah dapat diamati sejak anak berusia satu tahun, atau bayi dalam bentuk berbagai upaya dalam pemecahan masalah (problem solving). Kemampuan ini berkembang pesat pada usia pra sekolah dan dipengaruhi oleh banyaknya pengetahuan dan pengalaman anak dalam pemecahan masalah serta mengatasi kesulitan yang timbul. Berbagai bentuk yang muncul antara lain mengenal aturan dan mengendalikan diri (Bjorklund, 2005).
Penting diketahui tingkat Adversity Response anak sejak dini, sehingga dapat dilakukan upaya intervensi sedini mungkin apabila berada dalam kategori kurang atau tidak baik, guna mencegah dampat buruknya lebih lanjut dalam perkembangan kehidupan anak. Sebelum anak memasuki jenjang pendidikan dasar, hendaknya diketahui kesiapannya, salah satunya adalah tingkat respon anak yang dapat diukur melalui suatu asesment dan evaluasi pada anak usia 5-6 tahun berdasarkan pada kategori tinggi, sedang, dan rendah. Selanjutnya perhatian yang serius dan upaya solusi untuk mengingkatkan Adversity Response dapat diberikan kepada anak yang memiliki kecenderungan Adversity Response sedang atau bahkan rendah, sementara untuk anak dengan Adversity Response tinggi perlu dipertahankan.
Dengan demikian, apabila intervensi yang tepat diberikan, diharapkan anak siap memasuki jenjang pendidikan dasar serta mampu menghadapi berbagai kesulitan ataupun tantangan.
Sumber : http://akeswari.wordpress.com/assessment-kesiapan-anak-masuk-sekolah-dasar-overview/
Senin, 22 Oktober 2012
HOMESCHOOLING: SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF
HOMESCHOOLING:
SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF
Oleh Pormadi Simbolon, SS
Pengantar
Setiap
orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu,
nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak
yang menyenangkan. Kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para
orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk
“menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah
lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (homeschooling) atau dikenal
juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home education atau home based learning.
Latar Belakang
Banyaknya
orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua
mendidik anaknya di rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada
nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan
hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak
murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu.
Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan.
Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh
teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”.
Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.
Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.
Homeschooling
Istilah
Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah
rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat.
Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning
atau sekolah mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model
pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab
sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis
pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat
langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah
dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan
dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar
(bdk. Sumardiono, 2007:4).
Peran dan
komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan
standar pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian
bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua
Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi pelajaran,
bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat.
Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen
Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas,
13/3/2005).
Dalam Pendidikan Nasional
Departemen
Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan
homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur
pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan
(pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No.
20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun
pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan
informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan
formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian
sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2).
Dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan
nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal 1).
Berdasarkan
definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah
rumah menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sejarah Singkat
Filosofi
berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar
dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar.
Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha
menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam
bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi
tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas
mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan
pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis
pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah,
tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada
waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an,
Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang
tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education).
Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah
formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi
sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak
laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007: 21).
Setelah
pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas,
Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976).
Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling
di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan
majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa
dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan
konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus
berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) , pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Di Indonesia
Perkembangan
homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum
ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling
merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari
konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di
sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan
hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan
homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka
(Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
Dalam
pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di
Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang
tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut
Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti
mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri
anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum
menyekolahkan anaknya di rumah. Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor
dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi
berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah
berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang
harus banyak belajar.
Demikian
juga Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan
bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti
seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil
keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga
kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,”
kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah tahun 2000 (Kompas,
13/3/2005).
Di Indonesia
baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti
Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan
Belajar Mengajar (PKBM).
Morning Star
Academy, Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan
tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga
membentuk karakter siswanya.
Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM
sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25
lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang.
Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B
(setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya
menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya,
tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian
guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung
mengeluarkannya dari pusat.
Saat ini,
perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap
informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki
semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.
Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung Homechooling
-
Kegagalan sekolah formal
Baik
di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam
menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi
keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk
menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat
menghasilkan didikan bermutu.
-
Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang
digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda.
Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan)
manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi
baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis
inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi
matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi
kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal;
Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi
eksistensial.
Teori
Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi
inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu
mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali
malahan memasung inteligensi anak.
(Buku
acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam
bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno,
Kanisius: 2003).
-
Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya
tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa
menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut
saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar
Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin
Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan,
penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di
sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah
karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia
belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan
tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
-
Tersedianya aneka sarana
Dewasa
ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang
berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas
pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum
(taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan,
rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah,
perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan
audivisual).
Homeschooling vs Sekolah Umum
Model
pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem
sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah
maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih
valid dan disukai.
Namun bagi
sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak
memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing
hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output
pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan,
politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah
memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling
sebagai pendidikan alternatif.
Pada
hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai
sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan
seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki
perbedaan.
Pada sistem
sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada
guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab
pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.
Sistem di
sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum,
sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak
dan kondisi keluarga.
Pada
sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh
siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada
kesepakatan antara anak dan orang tua.
Pengelolaan di sekolah
terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar.
Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga
homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh
orang tua.
Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling
Dari perbedaan di atas, kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah
rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya
berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada
kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung
dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba,
konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.
Di
sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat
disebutkan berikut ini: membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi
dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua
harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak;
keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif
rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi
dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan
efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial
yang kompleks yang tidak terprediksi.
Penutup
Homeschooling
merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang
tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman
(agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Di
sisi lain, ada sekolah umum yang memberikan bahan ajar dan kurikulum
secara terpusat dan seragam, sesuai dengan harapan dan kebutuhan anak.
Baik homeschooling maupun sekolah umum (pendidikan formal) sama-sama
mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menghantarkan peserta didik
mencapai tujuan pendidikan. Soal pilihan atas keduanya, semua diserahkan
pada orangtua dan keluarga sesuai dengan kondisi keluarga.
Penulis adalah pemerhati pendidikan anak, tinggal di Jakarta.
REFERENSI:
Kompas Cyber Media, 29 Agustus 2005: “Home Schooling” Model Pendidikan Alternatif
Sarie Febriane/ Clara Wresti, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, Harian Kompas, 13 Maret 2005
Yorgi Gusman, Ikutan Home Schooling, 08 September 2006
Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda, Kanisius: Yogyakarta, 2003
Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, PT. Elex Media Komputindo: Jakarta, 2007
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Fokusmedia, Bandung 2003
Minggu, 21 Oktober 2012
Twin Star Homescholing untuk ABK
Twin Star Homeschooling
Twin Star Homeschooling merupakan sebuah alternatif pilihan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang menganut IEP (Individual Educational Program). Berangkat dari keprihatinan pendidikan lanjutan bagi anak berkebutuhan khusus yang sudah menyelesaikan program terapinya namun masih saja mengalami kendala belajar di sekolah reguler maupun sekolah inklusi, kami para pengajar,pemerhati dan pecinta anak berkebutuhan khusus sepakat mendirikan komunitas ini, 1 Januari 2011 berdiri. Komunitas ini berusaha memberikan pemenuhan hak belajar bagi anak berkebutuhan khusus. Berbekal pada pijakan pemahaman sembilan kecerdasan intelektual, kami meyakini bahwa setiap individu itu pintar, setiap individu yang dilahirkan didunia ini disertai karunia kecerdasan yang unik / berbeda-beda. Lingkunganya sangat mempengaruhi apakah kecerdasan tersebut tergali atau tidak. Lingkungan yang kritis,suportif dan penuh kasih sayang akan memungkinkan teridentifikasinya kecerdasan seorang individu, lingkungan yang hangat, serta suportif memungkinkan seorang individu berekspesi secara spontan, ditunjang oleh sifat kritis lingkungannya maka kecerdasanya akan dapat dikenali,dan diasah dengan pendekatan yang yang sesuai dengannya.
Setiap anak berdasarkan kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya mempunyai cara khas dalam mempelajari sesuatu, hal itulah yang harus kita kenali agar kegiatan belajar mengajar.
Twin Star Homeschooling merupakan sebuah alternatif pilihan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang menganut IEP (Individual Educational Program). Berangkat dari keprihatinan pendidikan lanjutan bagi anak berkebutuhan khusus yang sudah menyelesaikan program terapinya namun masih saja mengalami kendala belajar di sekolah reguler maupun sekolah inklusi, kami para pengajar,pemerhati dan pecinta anak berkebutuhan khusus sepakat mendirikan komunitas ini, 1 Januari 2011 berdiri. Komunitas ini berusaha memberikan pemenuhan hak belajar bagi anak berkebutuhan khusus. Berbekal pada pijakan pemahaman sembilan kecerdasan intelektual, kami meyakini bahwa setiap individu itu pintar, setiap individu yang dilahirkan didunia ini disertai karunia kecerdasan yang unik / berbeda-beda. Lingkunganya sangat mempengaruhi apakah kecerdasan tersebut tergali atau tidak. Lingkungan yang kritis,suportif dan penuh kasih sayang akan memungkinkan teridentifikasinya kecerdasan seorang individu, lingkungan yang hangat, serta suportif memungkinkan seorang individu berekspesi secara spontan, ditunjang oleh sifat kritis lingkungannya maka kecerdasanya akan dapat dikenali,dan diasah dengan pendekatan yang yang sesuai dengannya.
Setiap anak berdasarkan kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya mempunyai cara khas dalam mempelajari sesuatu, hal itulah yang harus kita kenali agar kegiatan belajar mengajar.
Kami melaksanakan bse-homeschooling sebagai
pendukung bagi siswa-siswa ABK yang mengikuti sekolah inklusi yang berada di
kab. Semarang.
Informasi Silakan Mengubungi : Rubiyarto, S.Pd (08562668773 & 08884136500)
KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH INKLUSIF
KEGIATAN BELAJAR
MENGAJAR DI SEKOLAH INKLUSIF
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan belajar-mengajar merupakan inti dan pelaksanaan kurikulum Baik-buruknya mutu pendidikan atau mutu lulusan dipengaruhi oleh mutu kegiatan belajar-mengajar. Bila mutu lulusanya bagus dapat diproduksi bagus mutu kegiatan belajar-mengajarnya juga bagus: atau sebaliknya, bila mutu kegiatan belajar-mengajarnya bagus, maka mutu lulusannya juga akan bagus.
Guru Sekolah Dasar (SD) selama ini disiapkan untuk mengajar siswa-siswi yang ada di SD. Pada umumna para siswa di SD adalah anak-anak normal yang tidak memiliki kelainan/penyimpangan yang signifikan (berarti) baik dalam segi fisik. Intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris. Mereka pada umumnya memiliki kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris yang relatif homogen.
Seiring dengan kemajuan jaman, reformasi kelemhagaan yang melayani anak berkelainan banyak dilakukan. Pada masa-masa sebelumya bentuk kelembagaan yang melayani pendidikan bagi anak berkelainan masih banyak yang bersifat segregasi atau terpisah dari masyarakat pada umumnya. Tetapi memasuki akhir milenium dua, misi dan visi kelembagaan sudah cenderung kepada bentuk integrasi. Suatu Bentuk dimana anak luar biasa atau para penyandang cacat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan masyarakat pada umumnya. Muncul berbagai istilah yang berhubungan dengan bentuk kelembagaan dan layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi mereka, Seperti normalisasi, dan integrasi, mainstreaming, least restrictive environment, institusionalisasi, dan ink/usi. Dewasa ini, ink/usi merupakan. salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berkelainan yang dipandang ideal untuk dilaksanakan sesuai dengan Pernyataan Sa1amanca.
Di Sekolah inklusif para siswa memilik kemampuan yang heterogen, karena para siswanya di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkelainan yang memiliki beragam kelainan/penyimpangan, baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis.
Mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen berheda dengan mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan homogen. Para guru SD, pada umumnya merasa kurang mampu mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen di kelas inklusif karena ketika mereka sekolah/kuliah di lembaga pendidikan guru baik SPG, PGSD, maupun LPTK lainnya tidak dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan agar mampu untuk mengajar di kelas inklusif.
Sehuhungan dengan permasalahan di atas, maka disusun Buku Kegiatan Belajar Mengajar, yang diharapkan dapat dipergunakan oleh para guru dan praktisi pendidikan lainnya sebagai acuan dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan Belajar-mengajar kelas inklusif.
B. Tujuan Penulisan Buku
Buku ini ditulis dengan tujuan sebagai bahan acuan bagi para pembaca, terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan. dalam merancang, melaksanakan. dan mengevaluasi kegiatan belajar-mengajar kelas inklusif.
II. PERENCANAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
A. Rancangan Pembelajaran
Kegiatan belajar-mengajar hendaknya dirancang sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa, serta mengacu kepada kurikulum yang telah dikembangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan belajar mengajar pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
1. Merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar
- Merencanakan pengelolaan kelas
- Merencanakan pengorganisasan bahan
- Merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar
- Merencanakan penggunaan sumber belajar
- Merencanakan penilaian
- Menyajikan materi/bahan pelajaran
- Mengimplementasikan metode, sumber belajar dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakterisitik siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran
- Mendorong siswa untuk terlihat secara aktif
- Mcndemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan
- Mengelola waktu, ruang, bahan, dan perlengkapan pengajaran.
- Bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa
- Menampilkan kegairahan dan kesungguhan
- Mengelola interaksi antarpribadi
- Melakukan penilaian selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung, baik secara lisan tertulis, maupun melalui pengamatan
- Mengadakan tindak lanjut.
B. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Kegiatan belaiar-mengajar dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusif secara umum sama dengan prinsip- prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat anak berkelainan yang mengalami kelainan/penyimpangan baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan/atau sensoris neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
1. Prinsip Umum
a. Prinsip Motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada sisa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
b. Prinsip Latar/Koteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu penuh bagi anak.
c. Prinsip Keterarahan
Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas. rnenapkan hahan dan alat ang sesual serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
d. Prinsip Hubungan Sosial
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
e. Prinsip Belajar Sambil Bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan atau menemukan seseatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.
f. Prinsip Individualisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran. kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
g. Prinsip Menemukan
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlihat secata aktif baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional.
h. Prinsip Pemecahan Masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuan.
2. Prinsip Khusus
a. Tunanetra
1) Prinsip Kekonkritan
Anak tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan perabaan. Bagi mereka untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda-benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan Melalui observasi perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sitat permukaan, kelenturan, suhu, dan sebagainya.
Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam proses belajar-mengajar guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda-benda konkrit (baik asli maupun tiruan) sebagai alat bantu atau media dan sumber belajar dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
2) Prinsip Pengalaman yang Menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang anak normal yang masuk ke toko, tidak saja dapat melihat rak-rak dan benda-benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat huhungan antara rak-rak dengan benda-benda di ruangan. Anak tunanetra tidak mengerti hubungan-huhungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak untuk “mengalami” suasana tersehut secara nyata dan menerangkan huhungan-huhungan tersebut.
3) Prinsip Belajar Sambil Melakukan
Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil berkerja. Perbedaannya adalah, bagi anak tunanetra, melakukan sesuatu adalah pengalamanya nyata yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam rnenangkap informasi. Anak normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat gambar atau foto. Anak tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan secara langsung di lingkungan nyata.
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses belajar-mengajar tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situsi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan yang diajarkannya.
b. Tiinarungu/Gangguan Komunikasi
1) Prinsip Keterarahanwajah
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengarannya (kurang dengar atau bahkan tuli), Sehingga organ pendengarannya kurang/tidak berfungsi dengan baik. Bagi yang sudah terlatih, mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Oleh karena itu ada yang menyebut anak tunarungu dengan istilah “pemata’, karena matanya seolah-olah tanpa berkedip melihat gerak bibir lawan bicaranya.
Prinsip ini menuntut guru ketika memberi penjelasan hendaknya menghadap ke anak (face to face) sehingga anak dapat melihat gerak bibir guru. Demikian pula halnya dengan anak yang mengalami gangguan komunikasi, karena organ bicaranya kurang berfungsi sempurna, akibatnya bicaranya sulit dipahami (karena kurang sempurna) oleh lawan bicaranya. Agar guru dapat memahaminya, maka anak diminta menghadap guru (face to face) ketika berbicara.
2) Prinsip Keterarahansuara
Setiap kali ada suara/bunyi, pasti ada sumber suara/bunyinya. Dengan sisa pendengarannya, anak hendaknya dibiasakan mengkonsentrasikan sisa pendengarannya ke arah sumber suara/bunyi, sehingga anak dapat merasakan adanya getaran suara, Suara/bunyi yang dihayatinya sangat membantu proses belajar-mengajar anak terutama dalam pembentukan sikap, prihadi, tingkah laku, dan perkembangan bahasanya.
Dalam proses belajar-mengajar, ketika berbicara guru hendaknya rnenggunakan lafal/ejaan yang jelas dan cukup keras, sehingga arah suaranya dapat dikenali anak.
Demikian pula, bagi anak yang mengalami gangguan komunikasi, agar bicaranya dapat dipahami oleh lawan bicaranva maka anak hendaknya ketika berbicara selalu menghadap ke lawan bicaranya agar suaranya terarah.
3) Prinsip Keperagaan
Anak tunarungu karena mengalami gangguan organ pcndengarannya maka mereka lebih banyak menggunakan indera penglihatannya dalam belajar.
Oleh karena itu, proses belajar-mengajar hendaknya disertai peragaan (menggunakan alat peragaan) agar lebih mudah dipahami anak. disamping dapat menarik perhatian anak.
c. Anak Berbakat
1) Prinsip Percepatan (AkseIeras) Be1ajar
Anak berbakat adalah anak yang memiliki kemampuan (intelegensi), kreatvitas, dan tanggung jawab (task commitmeni) terhadap tugas di atas anak-anak seusianya. Salah satu karakteristik yang sangat menonjol adalah mereka memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar anak seusianya. Dengan diterangkan sekali saja oleh guru. mereka telah dapat menangkap maksudnya: sementara anak-anak yang lainnya masih perlu dijelaskan lagi oleh guru. Pada saat guru mengulangi penjelasan kepada teman-temannya itu, mereka memiliki waktu tertuang. Bila tidak diantisipasi oleh guru, kadang-kadang waktu tertuang ini dimanfaatkan untuk aktivitas sekehendaknya., misalnya melempar benda-benda kecil kepada teman dekatnya. mencubit teman kanan-kirinya, dan sebagainya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki, dalam proses belajar-mengajar hendaknya guru dapat memanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan memberi materi penilaian tambahan (materi pelajaran berikutnya). Sehingga kalau terakumulasi semua, mungkin materi pelajaran selama satu semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan: materi 1 tahun selesai dalam waktu 8 bulan: materi 6 tahun selesai dalam waktu 4 tahun. Hal disebut dengan istilah percepatan (akselerasi) belajar.
2) Prinsip Pengayaan (Enrichment)
Ada anak berhakat yang tidak tertarik dengan program percepatan belajar Mereka kurang berminat mempelajari materi di atasnya (berikutnya) mendahului teman-temannya. Mereka merasa lehih enjoy dan fun dengan tetap mempelajari materi yang sama dengan teman sekelasnya, namun diperdalam dan diperluas dengan mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi (analisis. sintesis. evaluasi, dan pemecahan masalah), tidak hanya mengembangkan proses berfikir tingkat rendah (pengetahuan dan pemahaman), karena anak berbakat lebih menonjol dalam proses berfikir tingkat tinggi tersebut.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan betajar mengajar dapat rnemanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan cara memberi program-program pengayaan kepada mereka, dengan mengemhangkan proses berfikir tingkat tinggi seperti di atas.
d. Tunagrahita/Anak lamban belajar (Slow learner)
I) Prinsip Kasih Sayang
Tunagrahita/anak lamban belajar adalah anak yang mengalami kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni inteligensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka senang mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-kadang guru merasa jengkel karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun. mereka tetap saja kesulitan dalam menyelesaikannya.
Untuk itu, mengajar anak tunagrahita/lamban belajar membutuhkan kasih sayang yang tulus dan guru. Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela berkorban, dan memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran dan guru.
2) Prinsip Keperagaan
Kelemahan anak Tunagrahita/lamban belajar antara lain adalah dalam hal kemampuan berfikir abstrak, Mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar akan lebih mudah tertarik perhatiannva apabila dalam kegiatan belajar-mengajar menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang sesuai.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar mengajar selalu rnengaitkan relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke lingkungan nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Bila tidak memungkinkan, guru dapat membawa berhagai alat peraga.
3) Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
Meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita memiliki kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas.
Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikt demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin. melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.
e. Tunadaksa
Prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaraan bagi anak tunadaksa tidak lepas dan juga bentuk pelayanan, yaitu: (1) pelayanan medik, (2) pelayanan pendidikan. dan (3) pelayanaan sosial, yang pada dasarnya juga tidak dapat lepas dengan prinsip habilitasi dan rehahilitasi di atas.
f. Tunalaras
1). Prinsip Kebutuhan dan Keaktifan
Anak tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan dan keinginannya tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Untuk memenuhi Kebutuhannnya itu, ia menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat kepentingan orang lain. Kalau perlu melanggar semua peraturan yang ada meskipun ia harus mencuri misalnya. Hal ini jelas merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, guru harus memberi keaktifan kepada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan, agama, peraturan perundangan-undangan yang berlaku, segingga dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
2) Prinsip Kebebasan yang Terarah
Anak tunalaras memiliki sikap tidak mau dikekang. Ia selalu menggunakan peluang yang ada untuk berbuat sesuatu sehingga hatinya merasa puas. Oleh karena itu, guru harus berhati-hati ketika akan melarangnya. Nasehatilah kalau memang perlu dilarang. Di samping itu, guru hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala perilaku anak ke arah positif yang berguna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
3) Prinsip Penggunaan Waktu Luang
Anak tunalaras biasanya tidak bisa diam, dia termasuk hiperaktif. Ada saja yang dikerjakan. Bahkan solah-olah mereka kekurangan waktu sehingga lupa tidur, istirahat, dan sebaginya. Oleh karena itu, guru harus membimbing anak degan mengisi waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
4) Prinsip Kekeluargaa dan Kepatuhan
Anak tunalaras berasal dari keluarga yang tidak harmonis, hubungan orang tua retak (broken home). Akibatnya emosinya tidak laras, jiwanya tidak tenang, rasa kekeluargaannyatidak berkembang, merasa hidupnya tidak berguna. Akibat lebih jauh mereka bersifat perusak, benci kepada orang lain.
Oleh karena itu, guru harus dapat meyelami jiwa anak, dimana letak ketidakselarasaan kehidupan emosinya. Selanjutnya, mengembalikannya kepada kehidupan emosi yang tenang, laras, sehingga rasa kekeluargaanya menjadi pulih kembali. Misalnya siswa disuruh membaca cerita yang edukatif, memelihara binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
5) Prinsip Setia Kawan dan Idola serta Perlindungan
Karena tinggal di rumah tidak tahan, anak tunalaras biasanya lari keluar rumah. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang (kelompok) yang dirasa dapat memebuat dirinya merasa aman. Di dalam kelompok tersebuat ia merasa menemukan tempat berlindung menggantikan orang tuanya, ia merasa tentram, timbul rasa setia kawan. Karena setianya kepada kelompok, ia berbuat apa saja sesuai perintah katua kelompoknya yang dijadikan idolanya.
Oleh karena itu, guru hendaknya secara perlahan-lahan berupaya menggantikan posisi ketua kelompoknya, menjadi tokoh idola siswa, dengan cara melindungi siswa, dan berangsur-angsur kelompoknya berganti dengan teman-teman sekelasnya, dan setia kawannya berganti kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya mereka akan merasa senang bersekolah.
6) Prinsip Minat dan Kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak terutama yang berhubungan dengan pelajaran. Jangan sampai karena tugas-tugas (PR) yang diberikan oleh terlalu banyak, akhirnya justru mereka benci kepada guru atau benci kepada pelajaran tertentu. Sebaliknya, guru harus menggali minat dan kemampuan siswa terhadap pelajaran, untuk dijadikan dasar memberi tugas-tugas tertentu. Dengan memberi tugas yang sesuai, mereka akan merasa senang, yang pada akhirnya lama-kelamaan mereka akan terbiasa belajar.
7) Prinsip Emosional, Sosial, dan Perilaku
Karena problem emosi yang disandang anak tunalaras, maka ia mengalami ketidakseimbangan emosi. Akibatnya siswa berprilaku menyimpang baik secara individual maupun secara sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, guru harus berusaha mengidentifikasi problem emosi yang disandang anak, kemudian berupaya menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik sesuai dengan norma-norma yang erlaku di masyarakat dan agama, dengan cara diberi tugas-tugas tertentu yang terpuji, baik secara individual maupun secara kelompok.
8) Prinsip Disiplin
Pada umumnya anak tunalaras ingimn memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memenuhi keinginannya,tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, sehingga ia hidup lepas dari disiplin. Sikap ketidaktaatan dan lepas dari aturan merupakan sikap hidupnya sehari-hari.
Oleh karena itu, guru perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu diberi keteladanan dan pembinaan dengan sabar.
9) PrinsipKasih Sayang
Anak tunalaras umumnya haus akan kasih sayang, baik dari orang tua maupun dari keluarganya. Akibatnya anak akan selalu mencari kasih sayang dan menumpahkan keluhannya di luar rumah. Kalau ia tidak menemukannya akan menjadi agresif, cenderung hiperaktif, atau sebaliknya ia menjadi rendah diri, pendiam, atau meyendiri.
Oleh karena itu, guru supaya mendekati anak dengan penuh kasih sayang, kesabaran, sehingga kekosongan jiwa anak akan teisi atau terobati. Akibatnya, anak akan rajin ke sekolah karena merasa ada tempat untuk mencurahkan perasaanya. Pada akhirnya mereka akan menuruti nasehat guru untuk rajin belajar.
III. PELAKSANAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan
dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih. Seperti dijelaskan pada
Mengenal Pendidikan Inklusif, penempatan anak luar biasa di sekolah
inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
2. Kelas reguler dengan cluster
3. Kelas reguler dengan ull out
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
5. Kelas khusus dengan berhagai pengintegrasian
6. Kelas khusus penuh.
Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang lainyna belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan. Beberapa sisa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan tertentu. sementara beberapa sisa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja. Beberapa sisa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara berkelompok, Hilda Taba mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhuhungan dengan strategi individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan rnasalah. mengingat dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah.
Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi.
Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Reguler (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama, bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda. Oleh karena itu, setelah ditetapkan model penempatan anak luar biasa, yang perlu dilakukan berikutnya dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
A. Merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar
1. Merencanakan Pengelolaan Kelas
- Menentukan ruang kelas sesuai dengan tujuan pembelajaran
- Menentukan cara pengorganisasian siswa agar setiap siswa dapat
terlihat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar, misalnya:
- Individual
- Berpasangan
- Kelompok kecil
- Kalsikal
- Menetapkan bahan utama (pokok) yang akan diajarkan
- Menentukan bahan pengadaan untuk siswa yang pandai
- Menentukan hahan remidi uiuuk sisa sang kurang pandat.
- Merumuskan tujuan pembelajaran
- Menentukan metode mengajar
- Menentukan urutan/langkah-langkah mengajar, misalnya:
• Pembukaan/apersepsi
• Kegiatan ini
• Penutup/evaluasi
- Menentukan sumber bahan pelajaran (misalnya Buku Paket, Buku Pelengkap, dan sebagainya)
- Menentukan sumber belajar (misalnya globe, foto, benda asli, benda tiruan, lingkungan alam, dan sebagainya)
- Menentukan bentuk penilaian (misalnya tes lisan, tes tertulis, tes perbuatan)
- Membuat alat penilaian (menuliskan soal-soalnya)
- Menentukan tindak lanjut.
B. Melasanakan Kegiatan Belajar Mengajar
1. Berkomunikasi dengan Siswa
- Melakukan apersepsi
- Menjelaskan tujuan mengajar
- Menjelaskan isi/materi pelajaran.
- Mengklarifikasi penjelasan apabila siswa salah mengerti atau belum
paham. - Menanggapi respon atau pertanyaan siswa
- Menutup pe1ajaran (misalnya merangkum, meringkas, menyimpulkan,
dan sebagainya)
- Menggunakan metode mengajar yang bervariasi (misalnya ceramah, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, dan sebagainya)
- Menggunakan berbagai sumber belajar (misalnya globe, foto, benda asli, benda tiruan, lingkungan alam, dan sebagainya)
- Memberikan tugas/lauhan dengan memperhatikan perhedaan individual
- Menggunakan ekspresi lisan dan/atau penjelasan tertulis yang dapat mempermudah siswa untuk memahami materi yang diajarkan.
a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk terlihat secara aktif (misalnya dengan mengajukan pertanyaan, memberi tugas tertentu, mengadakan percohaan berdiskusi secara berpasangan atau dalam kelompok kecil, belajar berkooperatif)
b. Memberi penguatan kepada siswa agar terus terhihat secara aktif
c. Memberikan pengayaan (tugas-tugas tambahan) kepada siswa yang pandai
d. Memberikan latihan-latihan khusus (remidi) bagi siswa yang dianggap memerlukan.
4. Mendemostrasikan Penguasaan Materi Pelajaran dan Relevansinya dalam Kehidupan.
- Mendemostrasikan Penguasaan materi pelajaran secara meyakinkan (tidak ragu-ragu)
- Menjelaskan relevansinya materi pe1ajaran yang sedang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari.
- Menggunakan waktu pengajaran secara efektif sesuai dengan yang
direncanakan. - Mengelola ruang kelas sesuai dengan karakteristik siswa dan tujuan pembelajaran.
- Menggunakan bahan pengajaran (misalnya bahan praktikum) secara etisien
- Menggunakan pertengkapan pengajaran (misalnya peralatan percohaan) secara efektifdan efisien.
- Melakukan penilaian selama kegiataan belajar-mengajar berlangsung (baik secara lisan, tertulis, maupun pengamatan)
- Mengadakan tindak lanjut hasil penilaan.
1. Bersikap Terbuka Toleran, dan Simpati terhadap Siswa
- Menunjukkan sikap terbuka (misalnya mendengarkan, menerima, dan sebagainya terhadap pendapat sisa
- Menunjukkan sikap toleran (mau mengerti) terhadap siswa
- Menunjukkan sikap simpati (misalnya menunjukkan hasrat untuk memherikan bantuan) terhadap permasalahan/kesulitan yang dihadapi siswa
- Menunukkan sikap sahar (tidak niudah marah dan kasib sayang terhadp siswa.
- Menunjukkan kegairahan dalam mengajar
- Merangsang minat siswa untuk belajar
- Memberikan kesan kepada siswa bahwa ia menguasai bahan yang diajarkan
- Memberikan ganjaran (reward) terhadap siswa yang herhasil
- Memberikan bimbingan khusus terhadap siswa yang belum berhasil
- Memberikan dorongan agar terjadi interaksi antarsiswa
- Memberikan dorongan agar terjadi interaksi anatara siswa dengan guru
Langganan:
Postingan (Atom)