Sabtu, 03 November 2012

Semangat Murid Tunarungu di Paud Taman Latihan Semarang

Angling Adhitya Purbaya - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
    
Nindi mengajarkan Annisa berbicara (Angling/ detikcom)
Jakarta - Anisa, bocah berusia tiga tahun itu terlihat antusias memperhatikan pelajaran dari gurunya di kelas Paud Taman Latihan di Semarang. Setiap kali guru memberikan pertanyaan ia selalu sigap angkat tangan untuk menjawabnya. Semangat belajar Anisa tidak terbendung walaupun ia penyandang tunarungu.

Tidak hanya Anisa, 10 teman sekelasnya juga bernasib sama. Memang Paud Taman Latihan yang berlokasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang tersebut diperuntukkan khusus bagi anak berumur di bawah lima tahun penyandang tunarungu. Para siswa diberi pelajaran dengan metode yang sedikit berbeda dengan Paud umum lainnya.

Di kelas yang penuh tempelan gambar karya murid dan poster mendidik itu, Anisa dan teman-temannya diatur duduk setengah lingkaran agar mereka bisa melihat jelas artikulasi kata setiap kali guru mengucapkan kalimat. Walaupun semua murid sudah menggunakan alat bantu dengar, metode tersebut tetap perlu dilakukan.

"Agar bisa membaca gerak bibir guru, murid sengaja diatur duduk melingkar," kata guru Paud Taman Latihan, Nindi Nurdita Hapsari (25) kepada detikcom usai mengajar, Sabtu (3/11/2012).

Metode pengajaran yang digunakan Paud Taman Latihan adalah Metode Maternal Reflektif dengan tujuan agar nantinya siswa penyandang tunarungu bisa masuk ke sekolah-sekolah umum. Contoh mengajar dengan metode itu adalah menebak nama benda, warna, dan fungsinya sekaligus.

"Menyebutkan warna, menuliskan nama bendanya dan mempraktikkan fungsi benda yang diperlihatkan oleh guru," pungkas Nindi.

Adapun bentuk tulisan yang diajarkan adalah tulisan latin atau tegak bersambung dan dengan cara baca yang langsung satu kata tanpa dieja per suku kata. Nindi menambahkan, apabila mengajarkan cara baca kepada penyandang tunarungu dengan dieja per suku kata, maka nantinya mereka akan bicara dengan terbata-bata.

"Misal membaca kata 'sampo' langsung saja 'sampo' bukan 'sam-po'. Tulisan pun demikian, dipilih bentuk latin agar mereka bisa menulis langsung satu kata tanpa harus mengejanya, tulisan latin juga dimaksudkan untuk melatih motorik," terang wanita berjilbab itu.

"Istilahnya kita menggembleng anak agar bisa membaca dan menulis," tandasnya.

Satu-satunya kesulitan pada saat mengajar bocah tunarungu, lanjut Nindi, hanya pada bahasa dan artikulasi. Terkadang bahasa isyarat masih diperlukan untuk memperjelas arti kata yang diajarkan. Meski demikian ternyata murid-murid Nindi tidak tampak kesulitan menerima pelajaran darinya.

"Asalkan tidak cacat ganda, mereka cepat menerima pelajaran," ujar Nindi.

Selain dengan metode pengajaran tersebut, para orang tua siswa juga mendukung proses belajar anaknya yang menyandang tunarungu dengan memasangkan alat bantu dengar. Bahkan pada telinga Anisa sudah dipasang alat bantu dengar bernama Koklear Implan dimana ada bagian alat yang ditanamkan di dalam telinganya.

"Di bagian Koklea di telinga Anisa terpasang alat yang harganya kisaran Rp 200 sampai 300 juta satu telinga. Alat lainnya berjenis Behind The Ear yang hanya dipasangkan di bagian luar," tutur Nindi.

Sementara itu kepala SLB Negeri Semarang, Ciptono mengatakan Paud yang sudah berdiri sekitar dua tahun lalu itu sangat diminati oleh orang tua yang memiliki anak penyandang tunanetra. Dan ternyata murid-murid Paud taman Latihan tidak hanya dari Semarang namun juga kota-kota lainnya seperti Kudus, Demak, Tegal bahkan Kalimantan.

"Peminatnya banyak sekali bahkan dari luar kota juga ada," kata pria yang akrab dipanggil Pak Cip itu.

Untuk Paud penyandang tunarungu saat ini SLB Negeri Semarang menyediakan lima kelas dengan total siswa 42 anak yang aktif mengadakan kegiatan belajar pada hari Senin hingga Sabtu.

"Yang digunakan lima kelas. Kami uji coba dulu untuk tunarungu. Untuk Paud lainnya masih persiapan," ujar Pak Cip.

Suasana mengajar di kelas Paud Taman Latihan tidak jauh berbeda dengan Paud lainnya. Para murid bernyanyi, bermain, belajar layaknya anak-anak normal lainnya sedangkan orangtua mereka dengan sabar menunggu di luar kelas hingga pelajaran usai.

(alg/gah)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar